Minggu, 10 Juli 2011

ETIKA DAN FILSAFAT KEPEMIMPINAN, KEPEMIMPINAN PELAYANAN PUBLIK DAN PEMBANGUNAN DAERAH

The Right Man On The Right Place

Manusia diciptakan oleh Tuhan YME untuk menjadi makhluk yang paling mulia diantara makhluk lainnya. Diberi karunia untuk ber-cipta, ber-rasa, dan ber-karsa dimuka bumi. Setiap agama memaparkan kejadian manusia didalam kitab-kitab sucinya masing-masing, setiap kitab suci tidak ada yang mengatakan bahwa manusia terlahir dari rahim kera atau keturunan hewan, dia terlahir untuk menjalankan visinya sebagai manusia, bersikap dan berperilaku sebagai tanggungjawabnya menjadi manusia, jika ada manusia berperilaku tidak seperti manusia maka tentu dia memiliki permasalahan pada hakikat dirinya, atau bahkan tidak beragama karena tidak pernah membaca kitab suci yang akan membawanya pada sebuah kebaikan. Sungguh sangat menyedihkan jika seorang manusia disebut tidak beragama.

Intelektual Quotion (IQ), Spiritual Quotion (SQ), dan Emosional Quotion (EQ) merupakan bekal yang telah diberi Tuhan sejak lahir, hal ini akan menghasilkan perbuatan positif maupun negatif, tergantung masing-masing pribadi manusia itu sendiri menyikapi arti dirinya hidup. Karena banyak individu yang kita temui dijagad raya ini, individu-individu yang sangat pintar, pandai, cerdas, jenius, penuh akal dan ide, unggul dalam IQ, namun dia tidak memperhatikan SQ yang menjadi dasar perilakunya, dia tidak memperhatikan siapa yang memberi anugerah dalam dirinya, dia tidak memiliki tanggung jawab perbuatannya kepada Tuhan dan sesama, tidak dapat membedakan perbuatan yang benar atau salah, dan tidak beretika. Atau individu-individu yang diberi anugerah untuk memimpin dan menjadi orang nomor satu dilingkungan sosialnya, namun dia tidak bisa mengendalikan emosinya/EQ rendah. Seorang manusia yang baik haruslah bisa menyeimbangkan ketiga hal diatas, baik itu IQ, SQ, dan EQ, apalagi kita sebagai mahasiswa yang merupakan agent of change, generasi yang membawa perubahan harus memiliki ketiga hal tersebut. Bekal IQ yang telah kita peroleh sejak kita mengenal bangku sekolah (TK, SD, SMP, SMA, dan sarjana) tidak akan berarti jika tidak lengkapi dengan keimanan dan keyakinan kita dalam beragama dan beretika (SQ dan EQ), bahkan EQ saja atau SQ saja tidak akan berarti jika tidak memilki akal pikiran (IQ).

Pada hakikatnya manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial, sebagai makhluk individu manusia memiliki kepribadian, sikap dan perilaku yang akan membawanya pada suatu pengertian berbeda terhadap suatu obyek, tingkah lakunya sebagai individu akan mempengaruhi etika dan tingkah lakunya sebagai makhluk sosial. Menurut Sigmund Freud dalam teori psiko-analisisnya mengatakan bahwa kepribadian terdiri dari 3 (tiga) sistem, yaitu: Id (das es), superego (uber ich), dan ego (das ich).
 Id terletak dalam ketidaksadaran dan merupakan dorongan-dorongan primitif. Id merupakan dorongan untuk hidup dan memepertahankan kehidupan (life instinct) serta dorongan untuk mati (death instinct). Bentuk dorongan hidup adalah dorongan seksual atau disebut juga libido, sedangkan bentuk dorongan mati adalah dorongan agresi. Agresi adalah dorongan yang menyebabkan orang ingin menyerang orang lain, berkelahi, berperang dan marah. Prinsip Id adalah prinsip kesenangan dan tujuannya memuaskan semua dorongan primitif.
 Superego adalah suatu sistem yang merupakan kebalikan dari Id. Sistem ini dibentuk melalui kebudayaan baik diperoleh melalui pendidikan atau belajar pada norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Dorongan-dorongan yag berasal dari superego akan berusaha menekan dorongan yang timbul dari Id, karena dari Id tersebut tidak sesuai atau tidak bisa diterima oleh Superego.
 Ego adalah sistem dimana kedua dorongan dari Id dan Superego beradu kekuatan. Fungsi Ego adalah menjaga keseimbangn antara kedua sistem tersebut, sehingga tidak perlu banyak dorongan Id yang dimunculkan pada kesadaran. Sebaliknya, tidak semua dorongan Superego yang dipenuhi. Ego sendiri tidak mempunyai dorongan atau energi. Ego hanya menyesuaikan dorongan-dorongan Id dan Superego. Ego adalah satu-satunya sistem yang langsung berhubungan dengan dunia luar. Ego yang lemah tidak dapat menjaga keseimbangan antara Superego dan Id. Ego yang terlalu dikuasai oleh dorongan-dorongan dan Id saja, maka orang yang bersangkutan cenderung menjadi psikopat (tidak memperhatikan norma-norma dalam segala tindakannya), sedangkan orang yang terlalu dikuasai oleh Superego-nya, maka orang yang bersangkutan ada kecenderungan menjadi psikoneurose (tidak dapat menyalurkan dorongan-dorongan primitifnya).

Sebagai makhluk sosial manusia harus memilki etika yang baik dalam berinteraksi dengan sesamanya, menurut Bertens (1999:6) etika berarti : Nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, kumpulan asas atau nilai moral Ilmu tentang yang baik dan buruk. Moral adalah etika itu sendiri, dalam bahasa Yunani, kata moral bermakna adat, istiadat, kelakukan, kebiasaan, tabiat, watak, akhlak, cara hidup. Perbedaan etika dan moral adalah; jika etika menjawab apa yang harus dilakukan sedangkan moral menjawab bagaimana cara melakukannya. Tolak ukur atau kaidah bagi pertimbangan dan nilai-nilai yang terkandung dalam tindakan/sikap disebut norma, norma mengandung sangsi dan penguatan (reinforcement). Nilai merupakan daya guna yang termuat, menjiwai suatu maksud dan tujuan yang diinginkan. Ada 4 nilai Etika yang berkembang dalam masyarakat, yaitu : Nilai agama; Nilai moral; Nilai sosial; dan Nilai undang-undang.
 Nilai agama, merupakan hal-hal yang mempelajari tentang pengetahuan apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, benar dan salah, jika melakukan pelanggaran maka hubunganya dengan Tuhan/akhirat.
 Nilai moral, merupakan bagaimana tindakan-tindakan yang harus dilakukan seorang individu, jika melakukan pelanggaran maka berkaitan dengan citra diri.
 Nilai sosial, merupakan tataran berinteraksi dengan masyarakat, bagaimana mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati oleh sekelompok masyarakat, jika melakukan pelanggaran maka hukuman yang diberikan berupa dikucilkan, denda adat, dan dipermalukan.
 Nilai undang-undang, yaitu segala peraturan tertulis yang telah dibuat oleh negara untuk mengatur tata kehidupan masyarakatnya, jika melakukan pelanggaran maka sanksi yang diberikan adalah hukuman penjara dan denda.

Manusia memiliki kemampuan untuk berpikir, dengan menggunakan akal budi yang dimilikinya, manusia melihat realitas dan selalu ingin mencari tahu sebab dan akibat suatu realitas/kenyataan. Rasa keingintahuan tersebut menghasilkan pengetahuan-pengetahuan atas berbagai realita, pengetahuan-pengetahuan tersebut dikaji dan diteliti melalui metode-metode yang sistematis, logis, dan empiris sehingga hasil pengetahuan tersebut dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya (koheren). Hasil yang metodis ini berkembang menjadi suatu disiplin ilmu pengetahuan, kegiatan manusia untuk berpikir logis dan selalu mencari kebenaran secara mendalam untuk medapatkan suatu kepastian secara tepat inilah disebut berfilsafat. Filsafat sendiri dalam bahasa Yunani, Philein/Philo (cinta/hasrat yang besar dan bersungguh-sungguh), dan Sophia (kebijaksanaan/kebenaran yang sungguh-sungguh dan sejati). jadi filsafat adalah cinta kebijaksanaan/kebenaran yang hakiki, menyangkut rasionalisme (akal) atau pemikiran manusia kritis, sistematis, dan paling dalam, materialisme (materi) atau refleksi/pendalaman ilmu, idealisme (ide) atau hasil analisi dan abstraksi, hedonisme (kesenangan) atau pandangan hidup, dan starsisme (tabiat yang saleh) atau perenungan jiwa yang mendalam, mendasar, dan menyeluruh.

Manusia pada dasarnya telah diberi kemampuan untuk menjadi pemimpin, pemimpin bagi dirinya sendiri maupun pemimpin bagi orang lain. Lalu pemimpin yang bagaimana? Tentu pemimpin yang beretika kepemimpinan dan berfilsafat kepemimpinan yang baik (traits theory of leadership), seperti yang Ki Hajar Dewantoro katakan, pertama ”Ing ngarsa sung tuladha”, pemimpin yang memiliki perilaku terpuji akan mampu membawa orang lain/anggotanya pada jalan yang benar, berada didepan dan menjadi teladan bagi bawahannya untuk berbuat benar, menjadi orang pertama yang dengan tegas dan tepat mengambil keputusan, jujur dan bertanggungjawab terhadap perbuatannya, selalu mencari kebenaran dan bijaksana. Namun pemimpin yang terlalu memaksakan segala keputusannya, sok berkuasa dan sewenang-wenang atas jabatannya akan memunculkan pemimpin yang otoriter, terlalu menekan anggota dengan berbagai tugas dan kewajiban tanpa memprioritaskan hak anggota akan berdampak buruk terhadap kondisi organisasi. Pemimpin harus bisa mengendalikan jabatannya.

Kedua ”Ing madya mangun karsa”, pemimpin tidak harus selalu berada didepan, suatu ketika pemimpin menempatkan posisinya sebagai anggota, dimana pemimpin harus mendengarkan pendapat anggotanya, memberi kesempatan bagi anggotanya untuk mengaktualisasikan dirinya untuk maju, pemimpin memberi penghargaan yang pantas atas prestasi yang dicapai anggotanya, melayani kebutuhan anggotanya dan orang lain, karena anggota merupakan partner kerja yang penting untuk mewujudkan tujuan yang ingin dicapai, pemimpin yang terbuka dan menjadi motivator bagi anggota untuk maju akan memunculkan kondisi yang demokratis, dimana setiap individu dalam organisasi berpartisipasi dan bekerjasama untuk mewujudkan tujuan.

Ketiga ”Tut wuri handayani”, pemimpin harus selalu belajar untuk bisa lebih baik lagi, baik itu belajar dari kesalahan maupun selalu menambah pengetahuan-pengetahuan, selalu berusaha untuk menjadi lebih baik, menciptakan kondisi yang sejahtera dan bahagia, pemimpin dengan sifat liberal akan selalu mencoba melakukan yang terbaik bagi organisasinya.

Kondisi saat ini tidak banyak kita temui pemimpin yang seperti diatas, nilai-nilai etika telah luntur, bahkan marak saat ini para pemimpin yang tidak berfilsafat dan hanya menggunakan popularitas semata. Pertama patologi pemimpin karena persepsi, pemimpin telah lupa menggunakan hati nuraninya untuk menggunakan jabatannya secara baik dan benar, penyalah gunaan wewenang dan status quo, memerima suap, KKN, arogan, tidak adil, paranoid, banyak pemimpin yang ketika telah memimpin tidak sesuai dengan visi yang diusungnya ketika kampanye. Kedua patologi pemimpin akibat pengetahuan dan keterampilan: pemimpin merasa puas diri atas kemampuannya, tidak produktif, stagnasi, tidak mau berkembang, kurang inisiatif, trial and eror, dan pasif. Ketiga patologi pemimpin akibat tindakan melanggar hukum: pemimpin menerima suap, tidak jujur, sabotase, pemalsuan dan rekayasa, KKN, dsb. Keempat patologi akibat perilaku: pemimpin tidak sopan, kepentingan diri sendiri, tidak profesional, tidak disiplin, pemaksaan, konspirasi, tidak berkeprimanusiaan, negatifisme, pemborosan, dsb. Dan kelima patologi pemimpin akibat situasi internal: tujuan dan sasaran tidak efektif dan efisien, kewajibannya dianggap sebagai beban yang harus dikerjakan, pengangguran terselubung, pemberian pelayanan yang berbelit-belit, dsb.
Sekarang kita (mahasiswa) sebagai agent of change apa yang harus kita lakukan? Jika kita mengaku sebagai manusia yang berpendidikan tentu kita adalah sebagai manusia yang beretika dan berfilsafat kepemimpinan baik, lalu apakah anda telah melakukannya? Hal ini tentu diri pribadi kita masing-masing yang mampu menjawabnya, karena kita tidak akan bisa menjadi agen perubahan dan memimpin bangsa ini dengan baik jika kita tidak bisa merubah dan memimpin diri kita sendiri dengan baik. Pendidikan budi pekerti dinilai sangat penting untuk kembali diajarkan disekolah-sekolah, mengingat saat ini pelajaran budi pekerti telah usang (tidak diketahui kapan pastinya kurikulum pendidikan budi pekerti tidak lagi diajarkan disekolah-sekolah), dan tidak lagi menjadi penting bagi sekolah-sekolah. Padahal selain pendidikan budi pekerti kita peroleh dari keluarga, sangatlah penting pendidikan ini diajarkan dimana-mana, karena akhlak dan moral adalah hal penting yang saat ini tak lagi diperhatikan.

Kita tentu berangan-angan memiliki negara kesejahteraan yang sehat dan dinamis (wellfare state), dimana suatu negara yang bebas KKN, pendidikan dan kesehatan terjamin dan memiliki prosedur administrasi dan pelayanan publik yang tidak berbelit-belit, dan pembangunan yang sesuai sasaran. Apakah itu hanya akan menjadi angan-angan? Jawabannya adalah tidak, karena kita berada dalam kehidupan masyarakat yang nyata, maka kita akan membuat suatu solusi yang nyata pula, yaitu dibutuhkannya pemimpin yang beretika dan berfilsafat kepemimpinan yang baik, tentu juga yang beretika dan berfilsafat administrasi yang baik.

Peran etika dan filsafat dalam dunia administrasi, yaitu etika adalah dunianya filsafat, nilai, dan moral. Administrasi adalah dunia keputusan dan tindakan. Etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan baik dan buruk, sedangkan administrasi adalah konkrit dan harus mewujudkan apa yang diinginkan (get the job done). Pembicaraan tentang etika dalam administrasi adalah bagaimana mengaitkan keduanya, bagaimana gagasan-gagasan administrasi (ketertiban, efisiensi, kemanfaatan, produktivitas) dapat menjelaskan etika dalam prakteknya, dan bagaimana gagasan-gagasan dasar etika (mewujudkan yang baik dan menghindari yang buruk) dapat menjelaskan hakikat administrasi.(www.ginandjar.com)

Terutama sejak dasawarsa tahun 1970-an, etika administrasi telah menjadi bidang
studi yang berkembang pesat dalam ilmu administrasi. Perkembangan ini terutama didorong, meskipun bukan disebabkan semata-mata oleh masalah-masalah yang dihadapi oleh administrasi negara di Amerika karena skandal-skandal seperti Watergate dan Iran Contra.

Kajian-kajian tersebut masih berlangsung hingga saat ini, dan masih belum terkristalisasi. Hal ini mencerminkan upaya untuk memantapkan identitas ilmu adminis trasi, yang sebagai disiplin ilmu yang bersifat eklektik dan terkait erat dengan dunia praktek, tidak dapat tidak terus berkembang mengikuti perkembangan zaman.

Meskipun dikatakan demikian, sejak awalnya masalah kebaikan dan keburukan telah menjadi bagian dari bahasan dalam administrasi; walaupun sebagai subdisiplin baru berkembang kemudian. Misalnya, konsep birokrasi dari Weber, dengan konsep hirarkinya dan birokrasi sebagai profesi, mencoba untuk menunjukkan birokrasi yang baik dan benar. Begitu juga upaya Wilson untuk memisahkan politik dari administrasi. Bahkan konsep manajemen ilmiah dari Taylor dapat juga dipandang sebagai upaya ke arah itu. Cooper (1990) bahkan menyatakan bahwa nilai-nilai adalah jiwanya administrasi negara. Frederickson (1994) mengatakan nilai-nilai menempati setiap sudut administrasi. Jauh sebelum itu Waldo (1948) menyatakan siapa yang mempelajari administrasi berarti mempelajari nilai, dan siapa yang mempraktekkan administrasi berarti mempraktekkan alokasi nilai-nilai.

Peran etika dalam administrasi baru mengambil wujud yang lebih terang relatif
belakangan ini saja, yakni kurang lebih dalam dua dasawarsa terakhir ini. Masalah etika ini terutama lebih ditampilkan oleh kenyataan bahwa meskipun kekuasaan ada di tangan mereka yang memegang kekuasaan politik (political masters), ternyata administrasi juga memiliki kewenangan yang secara umum disebut discretionary power. Persoalannya sekarang adalah apa jaminan dan bagaimana menjamin bahwa kewenangan itu digunakan secara “benar” dan tidak secara “salah” atau secara baik dan tidak secara buruk. Banyak pembahasan dalam kepustakaan dan kajian subdisiplin etika administrasi yang merupakan upaya untuk menjawab pertanyaan itu. Etika tentunya bukan hanya masalahnya administrasi negara. Ia masalah manusia dan kemanusiaan, dan karena itu sejak lama sudah menjadi bidang studi dari ilmu filsafat dan juga dipelajari dalam semua bidang ilmu sosial. Di bidang administrasi, etika juga tidak terbatas hanya pada administrasi negara, tetapi juga dalam administrasi niaga, yang antara lain disebut sebagai business ethics.

Nicholas Henry (1995) berpandangan bahwa ada tiga perkembangan yang mendorong berkembangnya konsep etika dalam ilmu administrasi, yaitu (1) hilangnya dikotomi politik administrasi, (2) tampilnya teori-teori pengambilan keputusan di mana masalah perilaku manusia menjadi tema sentral dibandingkan dengan pendekatan sebelumnya seperti rasionalitas, efisiensi, (3) berkembangnya pandangan-pandangan pembaharuanm, yang disebutnya “counterculture critique”, termasuk di dalamnya dalam kelompok yang dinamakan “Administrasi Negara Baru”.

John A. Rohr menunjukkan dengan jelas melalui ungkapan sebagai berikut: “Through administrative discretion, bureaucrats participate in the governing process of our society; but to govern in a democratic society without being responsible to the electorate raises a serious ethical question for bureaucrats”.
Oleh karena itu pula bahasan ini tidak dimulai dengan batasan-batasan karena telah banyak kepustakaan yang mengupas etika, moral, moralitas, sehingga pengetahuan mengenai hal itu di sini sudah dianggap “given”. Untuk kepentingan pembahasan di sini diikuti jejak Rohr, pakarnya masalah etika dalam birokrasi, yang menggunakan etika dan moral dalam pengertian yang kurang lebih sama, meskipun untuk kepentingan pembahasan lain, misalnya dari sudut filsafati, memang ada perbedaan. Rohr menyatakan: “For the most part, I shall use the words “ethics” and “morals” interchangeably. Although there may be nuances and shades of meaning that differentiate these words, they are derived etymologically from Latin and Greek words with the same meaning.” Kita ketahui dari kepustakaan bahwa kata etika berasal dari Yunani ethos yang artinya kebiasaan atau watak; dan moral, dari kata Latin mos (atau mores untuk jamak) yang artinya juga kebiasaan atau cara hidup.(www.ginandjar.com)

Di bidang administrasi negara, sehingga masalah ini menjadi keprihatinan (concern) yang sangat besar, karena perilaku birokrasi mempengaruhi bukan hanya dirinya, tetapi masyarakat banyak. Selain itu, birokrasi juga bekerja atas dasar ke percayaan, karena seorang birokrat bekerja untuk Negara dan berarti juga untuk rakyat. Wajarlah apabila rakyat mengharapkan adanya jaminan bahwa para birokrat (yang dibiayainya dan seharusnya mengabdi kepada kepentingannya) bertindak menurut suatu standar etika yang selaras dengan kedudukannya.

Selain itu, telah tumbuh pula keprihatinan bukan saja terhadap individu-individu para birokrat, tetapi terhadap organisasi sebagai sebuah sistem yang memiliki kecenderungan untuk mengesampingkan nilai-nilai. Apalagi biokrasi modern yang cenderung bertambah besar dan bertambah luas kewenangannya. Appleby (1952), termasuk orang yang paling berpengaruh dalam studi mengenai masalah ini. Ia mencoba mengaitkan nilai-nilai demokrasi dengan birokrasi dan melihat besarnya kemungkinan untuk memadukannya secara serasi. Namun, Appleby mengakui bahwa dalam prakteknya yang terjadi adalah kebalikannya. Ia membahas patologi birokrasi yang memperlihatkan bahwa birokrasi itu melenceng dari keadaan yang seharusnya.

Golembiewski (1962, 1965) yang juga merujuk pada pandangan Appleby, selanjutnya mengatakan bahwa selama ini organisasi selalu dilihat sebagai masalah teknis dan bukan masalah moral, sehingga timbul berbagai persoalan dalam bekerjanya birokrasi pemerintah. Hummel (1977, 1982, 1987) mengeritik birokrasi rasional ala Weber yang menyatakan bahwa birokrasi, yang disebut sebagai bentuk organisasi yang ideal, telah merusak dirinya dan masyarakatnya dengan ketiadaan norma-norma, nilai-nilai, dan etika yang berpusat pada manusia.

Begitu sangat pentingnya peran pemimpin yang beretika dan berfilsafat, pemimpin tidak hanya bertanggung jawab atas tindakan dan perilakunya didunia saja, tetapi juga bertanggung jawab kepada Tuhan YME.


Daftar Pustaka:
Mangkunegara, Dr. A.A.Anwar Prabu, M.si. 2005. Perilaku Dan Budaya Organisasi: Cetakan Pertama. Bandung: PT. Refika Aditama.
www.ginandjar.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar